Pages

Subscribe:

Kamis, 29 November 2012

teori sosiologi klasik auguste comte



A. Riwayat Hidup
Auguste Comte, memiliki nama panjang Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, lahir di Montpelier, Prancis pada tanggal 19 Januari 1798. Orang tua Auguste Comte berasal dari kelas menengah dan akhirnya sang ayah meraih posisi sebagai petugas resmi pengumpul pajak lokal. Meskipun ia adalah seorang mahasiswa yang cerdas, namun Comte tidak pernah mendapatkan ijazah sarjana. Ia dan seluruh mahasiswa seangkatannya dikeluarkan dari Ecole Politehnique karena gagasan politik dan pembangkangan mereka. Pemberhentian ini berdampak buruk pada karir akademis Comte. Pada tahun 1817 ia menjadi sekretaris  dan “anak angkat” Claude Henri Saint- Simon, seorang filusuf yang empat puluh tahun lebih tua dari Comte (Manuel, 1962:251). Mereka bekerja sama selama beberapa tahun dan Comte mengakui besarnya hutang pada Saint- Simon: ”aku benar- benar berhutang secara intelektual pada Saint- Simon …ia banyak berperan dalam mengenalkan aku ke wilayah filsafat yang kini aku ciptakan untuk diriku sendiri dan tanpa ragu aku jalani seumur hidupku” (Durkheim, 1928/ 1962 :144). Namun pada tahun 1824 mereka bertengkar karena comte yakin bahwa Saint- Simon ingin menghapuskan nama Comte dari daftar ucapan terima kasihnya. kemudian Comte menulis bahwa hubungannya dengan Saint- Simon   “mengerikan” (Pickering, 1993:238) dan menggambarkannya sebagai “penipu hina” ( Durkheim, 1928/1962 : 144 ). Pada tahun 1852, Comte berkata tentang Saint- Simon, “Aku tidak berhutang apapun pada orang ini” (Pickering, 1993:240).
Heibron (1995) menggambarkan bahwa Comte bertubuh pendek, tingginya sekitar 5 kaki, 2 inci, dengan mata juling, dan sangat merasa resah dengan situasi yang ada di sekitarnya, khususnya ketika menyangkut perempuan. Ia juga terasing dari masyarakat secara keseluruhan. Ini dapat membantu menjelaskan fakta bahwa Comte menikah dengan Caroline Massin yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1842. Ia adalah seorang anak haram yang belakangan disebut “pelacur” oleh Comte, meskipun tuduhan itu akhir- akhir ini dipertanyakan (Pickering, 1997: 37). Kegelisahan pribadi yang dialami Comte berlawanan dengan rasa aman yang begitu besar terhadap kapasitas intelektualnya, dan tampak bahwa rasa percaya kuat.
Pada tahun 1826, Comte mengolah satu skema yang akan digunakannya untuk menyampaikan serangkaian 72 kuliah umum tentang filsafatnya. Kuliah yang diberikan Comte menarik banyak audien akan tetapi dihentikan pada perkuliahan ketiga dikarenakan Comte mengalami masalah mental. Bahkan pernah mencoba bunuh diri.
Meskipun Comte tidak memperoleh posisi regular di Ecole Polytechnique, Comte mendapatkan posisi minor sebagai asisten pengajar pada tahun 1832. Pada tahun 1837 Comte mendapatkan posisi tambahan sebagai penguji ujian masuk, dan untuk pertama kalinya, ini memberikan pendapatan yang memadai karena, selama ini ia sering kali tergantung secara ekonomis terhadap keluarganya. Selama kurun waktu tersebut Comte mengerjakan enam jilid karya yang melambungkan namanya, Cours De Philosophie Positive, yang secara keseluruhan terbit pada tahun 1842, dimana jilid pertama terbit pada tahun 1830. Dalam karya ini Comte memaparkan pandangannya bahwa sosiologi adalah ilmu tertinggi. Ia juga menyerang Ecole Polytechenique, dan hasilnya adalah pada tahun 1844 pekerjaannya sebagai asisten tidak diperpanjang. Pada tahun 1851 ia menyelesaikan 4 jilid buku Systeme De Politique Positive, yang lebih bertujuan praktis, dan menawarkan rencana reorganisasi masyarakat.
Heilbron menandaskan bahwa pada tahun 1838 terjadi kehancuran besar pada kehidupan Comte dan sejak saat itu ia kehilangan harapan bahwa setiap orang akan memikirkan karyanya secara serius tentang ilmu pengetahuan secara umum, dan khususnya pada sosiologi. Pada saat yang bersamaan ia mengawali hidup “yang menyehatkan otak”; yaitu, Comte mulai tidak mau membaca karya orang lain, yang akibatnya adalah ia menjadi kehilangan harapan untuk dapat berhubungan dengan perkembangan intelektual terkini. Setelah tahun 1838 ia mulai mengembangkan gagasan anehnya tentang revormasi masyarakat yang dipaparkan dalam bukunya Systeme De Politique Positive. Comte mulai menghayalkan dirinya sebagai seorang pendeta tinggi agama baru kemanusiaan; ia percaya pada dunia yang pada akhirnya akan dipimpin oleh sosiolog –  pendeta. Dalam hal ini, Comte banyak dipengaruhi oleh latar belakang katoliknya. Menarik untuk disimak ditengah – tengah gagasan berani itu, pada akhirnya Comte memang mendapatkan banyak pengikut di Prancis,  maupun disejumlah negara lain. Akhirnya, Aguste Comte wafat pada 5 September 1857.
  1. B. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE
Untuk memahami pemikir sintetis seperti halnya Comte, adalah penting bagi kita untuk mengenal sejauh mungkin berbagai sumber yang menjadi latar belakang pemikirannya. Hal ini terutama karena Comte adalah Filsuf yang telah berhasil untuk mensintesakan didalam dirinya berbagai hasil pemikiran dari berbagai ahli pikiran yang mendahuluinya. Ada beberapa sumber penting yang menjadi latar belakang yang menentukan jalan pikiran Comte, yaitu:
  1. Revolusi perancis dengan segala aliran pikiran yang berkembang pada masa itu. Comte tidaklah dapat dipahami tanpa latar belakang revolusi perancis dan juga Restorasi Dinasti Bourbon di Perancis yaitu pada masa timbulnya krisis sosial yang maha hebat dimasa itu. Sebagai seorang ahli pikir, Comte berusaha untuk memahami krisis yang sedang terjadi tersebut. ia berpendapat bahwa manusia tidaklah dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi itu tanpa melalui pedoman – pedoman berpikir yang bersifat scientific. Maka revolusi itu merupakan stimulus bagi pikiran Comte sendiri,
  2. Sumber lain yang menjadi latar belakang pemikiran Comte adalah filsafat sosial yang berkembang di Perancis pada abad ke-18. Khususnya filsafat yang dikembangkan oleh para penganut paham encyclopedist ini, terutama dasar – dasar pikirannya, sekalipun kelak ia mengambil posisi tersendiri setelah keluar dari aliran ini.
  3. Sumber lainnya adalah aliran reaksioner dari para ahli pikir Thoecratic terutama yang bernama De Maistre dan De Bonald. Aliran reaksioner dalam pemikiran Katolik Roma adalah aliran yang menganggap bahwa abad pertengahan kekuasaan gereja sangat besar, adalah periode organis, yaitu suatu periode yang secara paling baik dapat memecahkan berbagai masalah – masalah sosial. Aliran ini menentang pendapat para ahli yang menganggap bahwa abad pertengahan adalah abad di mana terjadinya stagmasi didalam ilmu pengetahuan, karena kekuasaan gereja yang demikian besar di segala lapangan kehidupan. Comte telah membaca karya – karya pemikir Theocratic dibawah pengaruh Sain– Simont sebagaimana diketahui Sain– Simont juga menganggap bahwa abad pertengahan adalah periode organic yang bersifat konstruktif.
  4. Sumber terakhir yang melatarbelakangi pemikiran Comte adalah lahirnya aliran yang dikembangkan oleh para pemikir sosialistik, terutama yang diprakarsai oleh Sain– Simont. Comte telah membangun hubungan yang sangat erat dengan Sain– Simont dan juga dengan para ahli pikir sosialis Prancis lainnya. Comte di suatu pihak akan membangun pengetahuan sosial dan dipihak lain akan membangun kehidupan ilmu pengetahuan sosial yang bersifat scientific. Sebenarnya Comte memiliki sifat tersendiri terhadap aliran ini, tetapi sekalipun demikian dasar – dasar aliran masih tetap dianutnya terutama pemikiran mengenai pentingnya suatu pengawasan kolektif terhadap masyarakat, dan mendasarkan pengawasan tersebut didalam suatu dasar yang bersifat scientific.
Comte adalah penyumbang terbesar untuk membangun sosiologi sebagai suatu ilmu. Dalam buku filsafat positifnya, yang pada dasarnya merupakan suatu buku tentang filsafat ilmu pengetahuan dan uraian tentang itu telah mengambil tempat paling banyak dalam bukunya itu. Comte menguraikan metoda – metoda berpikir ilmiah. Comte mengatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak lebih dari pada suatu perluasan metode yang sangat sederhana dari  akal sehat, terhadap semua fakta– fakta yang tunduk kepada akal pikiran manusia. Comte sangat mendasarkan seluruh pemikirannya kepada perkembangan atau kemampuan akal pikiran atau intelegensi manusia. Dengan cara berpikir seperti ini nantinya akan melahirkan banyak kritik terhadap Comte dengan filsafat positif yang dikembangkannya.
C. TEORI – TEORI AUGUSTE COMTE DAN PERKEMBANGANNYA DALAM ILMU SOSIOLOGI
Auguste Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu Social Statics dan Social Dynamic. Social statics dimaksudkannya sebagai suatu study tentang hukum– hukum aksi dan reaksi antara bagian– bagian dari suatu sistem sosial. Social statics merupakan bagian yang paling elementer dari ilmu sosiologi, tetapi dia bukanlah bagian yang paling penting dari study mengenai sosiologi, karena pada dasarnya social statics merupakan hasil dari suatu pertumbuhan.
Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Auguste Comte adalah apa yang disebutnya dengan social dynamic, yang didefinisikannya sebagai teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat. Karena social dynamic merupakan study tentang sejarah yang akan menghilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri.
Pembagian sosiologi kedalam dua bagian ini bukan berarti akan memisahkannya satu sama lain. Bila social statics merupakan suatu study tentang masyarakat yang saling berhubungan dan akan menghasilkan pendekatan yang paling elementer terhadap sosiologi, tetapi study tentang hubungan– hubungan sosial yang terjadi antara bagian – bagian itu tidak akan pernah dapat dipelajari tanpa memahaminya sebagai hasil dari suatu perkembangan. oleh karena itu, Comte berpendapat bahwa tidaklah akan dapat diperoleh, suatu pemahaman yang layak dari suatu masalah sosial tanpa mengguanakan pendekatan social dynamic atau pendekatan historis.
  1. 1. Social Dynamics
Social dynamics adalah teori tentang perkembangan manusia. Comte tidak membicarakan tentang asal usul manusia karena itu berada di luar batas ruang lingkup ilmu pengetahuan. Karena ajaran filsafat positif yang diajukannya mengatakan bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah dapat dibuktikan dalam kenyataan. Dia berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus, sekalipun dia juga menambahkan bahwa perkembangan umum dari masyarakat tidak merupakan jalan lurus.
Ada banyak hal yang mengganggu perkembangan suatu masyarakat seperti faktor ras manusia sendiri, faktor iklim dan faktor tindakan politik. Comte berpendapat bahwa jawaban tentang perkembangan sosial harus dicari dari karakteristik yang membedakan antara manusia dengan binatang. Menurut Comte, yang membedakan manusia dengan binatang adalah perkembangan inteligensi manusia yang lebih tinggi. Comte mengajukan hukum tentang 3 tingkatan inteligensi manusia, yaitu pemikiran yang bersifat theologis atau fictious, metaphisik atau abstrak, scientific atau positive. Sjarah umat manusia sebenarnya ditentukan oleh pertumbuhan dari pemikiran manusia, hukum tertinggi dari sosiologi haruslah hukum tentang perkembangan inteligensi manusia.
  1. The Law of three stages
Merupakan hukum tentang perkembangan inteligensi manusia, dan yang berlaku tidak hanya terhadap perkembangan manusia, tetapi juga berlaku terhadap perkembangan individu. Hukum ini merupakan generalisasi dari tiap bagian dari pemikiran manusia yang berkembang semakin maju melalui 3 tahap pemikiran, yaitu The Telogical, or Fictitious; The Metaphysical or Abstract; dan The Scientific, or Positive.
Tahap tingkatan pemikiran yang bersifat theological atau fictious dibagi kedalam 3 bagian yaitu Fethism, adalah untuk menggambarkan tingkatan pemikiran yang menganggap bahwa semua gejala yang terjadi dan bergerak berada dibawah pengaruh dari suatu kekuatan supernatural atau suatu kekuatan ghaib. Dalam pemikiran ini, manusia menginterpretasikan segala hal sebagai karya (hasil tindakan) dari supernatural being. Oleh para ahli bidang agama dianggap sebagai tahap perkembangan agama pada tingkatan yang animisme. Tetapi evolusi pemikiran manusia berlangsung terus. Melalui suatu proses atau daya imajinasi, manusia mulai menyederhanakan daripada kekuatan-kekuatan gaib yang dianggap menguasai segala benda-benda dan sesuatu yang bergerak itu. Proses penyederhanaan ini menuju ke arah tahap pemikiran yang bersifat polytheism. Polytheism, yaitu tingkat pemikiran bahwa segala sesuatu yang di alam ini dikemudikan oleh kemauan dewa-dewa. Dalam ini timbulah anggapan bahwa dewalah yang menguasai gejala-gejala tertentu, dimana masing-masing dewa itu hanya mengatur suatu kekuatan atau bagian khusus tertentu. Dari tahap pemikiran polytheism, terjadilah hal-hal yang bersifat kontradiktif, terutama mengenai kekuatan dari berbgai dewa. Ada semacam kekayaan yang timbul dan manusia akhirnya tiba pada suatu kesimpulan, bahwa dari berbagai dewa-dewa tersebut, pastilah ada suatu dewa yang dianggap memiliki kedudukan tertinggi, dibandingkan dengan dewa yang lain. Tahap ini menjurus kearah strukturisasi dari para dewa tersebut, yaitu anggapan atau pengakuan terhadap adanya dewa yang tertinggi yang mengatur dewa-dewa yang lain. Dari pemikiran penyederhanaan dewa-dewa tersebut, sampailah manusia pada tingkat pemikiran yang menganggap bahwa hanya ada satu Tuhan yang mengendalikan alam ini, yang disebut dengan monotheism.
  1. The Law of the hierarchie of the sciencies (hierarki dari ilmu pengetahuan)
Di dalam menyusun susunan ilmu pengetahuan, Comte menyadarkan diri kepada tingkat perkembangan pemikiran manusia dengan segala tingkah laku yang terdapat didalamnya. Sehingga sering kali terjadi didalam pemikiran manusia, kita menemukan suatu tingkat pemikiran yang bersifat scientific. Sekaligus pemikiran yang bersifat theologies didalam melihat gejala-gejala atau kenyataan-kenyataan.
  1. The Law of the correlation of practical activities
Comte yakin bahwa ada hubungan yang bersufat natural antara cara berfikir yang theologies dengan militerisme. Cara berfikir theologies mendorong timbulnya usaha-usaha untuk menjawab semua persoalan melalui kekuatan(force). Karena itu, kekuasaan dan kemenangan selalu menjadi tujuan daripada masyarakat primitive dalam hubungan satu sama lain.
Pada tahap yang bersifat metafisis, prinsip-prinsip hukum (khususnya hukum alam) menjadi dasar daripada organisasi kemasyarakatan dan hubungan antara manusia. Tahap metafisis yang bersifat legalistic demikian ini merupakan tahap transisi menuju ke tahap yang bersifat positif.
  1. The Law of the correlation of the feelings
Comte menganggap bahwa masyarakat hanya dapat dipersatukan oleh feelings. Demikianlah, bahwa sejarah telah memperlihatkan adanya korelasi antara perkembangan pemikiran manusia dengan perkembangan dari social sentiment. Didalam tahap yang teologis, sentiment sosial dan rasa simpati hanya terbatas dalam masyarakat lokal atau terbatas dalam city state. Tetapi dalam abad pertengahan, sosial sentiment berkembang semakin meluas seiring dengan perkembangan agama Kristen. Abad pertengahan adalah abad yang oleh Comte dianggap sebagai abad dalam tahap metafisis. Tetapi dalam tahap yang positif/ scientific, social simpati berkembang menjadi semakin universal. Comte yakin bahwa sikap positif dan scientific pikiraan manusia akan mampu memperkembangkan semangat alturistis dan menguniversilkan perasaan sosial(social simpati).
2. Social statics
Dengan social statics dimaksudkan Comte sebagai teori tentang dasar masyarakat. Comte membagi sosiologi kedalam dua bagian yang memiliki kedudukan yang tidak sama. Sekalipun social statics adalah bagian yang lebih elememter didalam sosiologi tetapi kedudukannya tidak begitu penting dibandingkan dengan social dynamics. Fungsi dari sosial statics adalah untuk mencari hukum – hukum tentang aksi dan reaksi dari pada berbagai bagian didalam suatu sistem sosial. Sedangkan dalam sosial statics mencari hukum – hukum tentang gejala – gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya. Didalam sosial statics, terdapat 4 doktrin yaitu doktrin tentang individu, keluarga, masyarakat dan negara.
  1. 3. Beberapa catatan terhadap Aguste Comte
Comte merupakan figur sentral dalam sejarah pemikiran sosial. Dia merupakan pelopor dari suatu ilmu pengetahuan yang kelak tumbuh menjadi demikian penting dan sangat dibutuhkan. Ajaran Comte tentang pentingnya suatu pemahaman terhadap kenyatan – kenyataan objective yang bersifat positive, tidak pelak lagi merupakan dasar dari perkembangan ilmu pengetahuan. Tetapi sebagaimana halnya dengan para pioner lainnya, Comte tidaklah terlepas dari berbagai kekurangannya. Pertama, kita dapat mencatat tentang kekurangannya ini, sekalipun dia membela sosiologi yang dibangunnya itu sebagai suatu ilmu pengetahuan positif, tetapi pada kenyataannya dia tetap meletakakan sebagai bagian dari filsafat sosial. Namun sekalipun demikian, sosiologi telah berhutang budi sangat besar kepada Comte, yang menunjuk pentingnya penggunaan suatu metode ilmiah yang bersifat induktif didalam sosiologi. Dia memang telah melakukan kesalahan pada mulanya dengan ajarannya tentang pengertian phenomenalisme dengan objektivisme, tetapi hal tersebut tidaklah membutakan mata kita terhadap nilai positif dari sumbangannya untuk membangun suatu metode ilmiah yang tepat untuk membangun sosiologi.

Teori sosiologi klasik Emile Durkheim

EMILE DURKHEIM 

Emile Durkheim adalah tokoh yang sering disebut sebagai eksemplar dari lahirnya teori fungsionalisme. Ia anak seorang rabi Yahudi yang lahir di Epinal, Perancis timur, tahun 1858. Namun Durkheim tidak mengikuti tradisi orang tuanya untuk menjadi rabi. Ia memilih menjadi Katholik, namun kemudian memilih untuk tidak tahu menahu (agnostic) tentang Katholikisme. Ia lebih menaruh perhatian pada masalah moralitas, terutama moralitas kolektif.
Durkheim terkenal sebagai sosiolog yang brilian dan memiliki latar belakang akademis dalam ilmu sosiologis. Dalam usia 21 tahun ia masuk pendidikan di Ecole Normale Superiure. Dalam waktu singkat ia membaca Renouvier, Neo Kantian yang sangat dipengaruhi pemikiran Saint Simon dan August Comte, dan bahkan melahap karya-karya Comte sendiri. Disertasinya TheDivisionof Labor in Society yang diterbitkan tahun 1893 memaparkan konsep-konsep evolusi sejarah moral atau norma-norma tertib social, serta menempatkan krisis moral yang hebat dalam masyarakat modern. Itu sebabnya, disertasi itu menjadi karya klasik dalam tradisi sosiologi.
Durkheim dalam bidang metodologi menulis The Rule ofSociological Method yang diterbitkan tahun 1895. Tahun 1897 Durkheim menjadi guru besar di Bordeaux. Karya Durkheim lain yang berpengaruh dalam ilmu sosiologi adalah The ElementaryForms of Religious Life yang terbit tahun 1912. Pemikiran Durkheim secara umum memberikan landasan dasar bagi konsep-konsep sosiologi melalui kajian-kajiannya terhadap elemen-elemen pembentuk kohesi social, pembagian kerja dalam masyarakat, implikasi dari formasi social baru yang melahirkan gejala anomie, dan nilai-nilai kolekltif, termasuk juga tentang aksi dan interaksi individu dalam masyarakat. Inilah yang menjadi dasar Durkheim mengembangkan sosiologi dalam bidang social keagamaan dan politik.
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer, Durkheim adalah orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat - suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi, melainkan lebih kepada penelitian terhadap fakta-fakta sosial, istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.

Pembagian Kerja Dalam Masyarakat (1893)

Durkheim meneliti bagaimana tatanan social dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis' dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kasadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual. Norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif - seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang , dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.

Bunuh Diri (1897)

Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah memengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama" (1921)) dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcell Maus. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat mekanis.

Sosiologi Politik (Micro Objective)

Dalam sosiologi politik, Durkheim berpendapat bahwa keterwakilan kolektif dalam mekanisme politik sangat penting karena kuatnya peran ikatan representasi kolektif-milieu sosial dalam proses dinamika sosial. Keterwakilan representasi individual merupakan representasi kolektif. Masyarakat adalah suatu kebersamaan kekuatan tak tampak yang bertindak terhadap individu, dan individu itu tanpa mengetahui sama sekali tidak mempunyai kesadaran terhadap tugas luar biasa besar yang terjadi di sekelilingnya. Sementara individu adalah produk masyarakat. Otoritas dari suatu aturan moral tidak terkait dengan karakter yang bisa diisolasi dan menjadi sifat intrisiknya. Sebab otoritas tidak berada di dalam 'suatu hal', sehingga mustahil mengurungnya dari semangat mereka yang meyakininya. Otoritas hanya representasi dan tidak memiliki eksistensi lain kecuali keyakinan yang mendukungnya. Pada saat generasi tertua menerapkan perwakilan otoritas yang diperlukan demi berfungsinya masyarakat kepada generasi berikutnya, pengakuan terhadap otoritas ini meng-eksteriosasi-kan kepatuhan yang diperdalam pada masa kanak-kanak generasi berikut dan dari situ memberikan kontribusi dalam mengabadikannya.
Aspek ekonomi, moral, hukum dan agama sejauh fungsinya sebagai organisme sosial dapat menguat dengan lahirnya Undang-undang tentang peran-peran, kewajiban dan harapan para pelakunya yang diwujudkan dalam bentuk negara. Akibat itu negara bukan lagi merupakan konstruksi logis yang bisa diatur dan diganggu sekehendak hati. Sebab negara adalah sebuah organ yang mengonsentrasikan dan mengekspresikan segenap kehidupan sosialnya. Hak (hukum) dan moral bukan lagi merupakan kumpulan aturan dasar yang abstrak dan perintah yang tak bisa diubah dan didiktekan lewat alasan yang impersonal, melainkan sesuatu yang hidup, yang keluar dari hati nurani bangsa tersebut dan berbagi segala nasibnya yang sama. Bahkan dalam perkembangannya, negara menggantikan fungsi agama. Dengan demikian, sosiologi mencakup tiga ilmu khusus: (1) ilmu tentang negara; (2) ilmu tentang fungsi-fungsi pengaturan negara (hukum, moral, agama); (3) ilmu tentang fungsi-fungsi ekonomi masyarakat.
Dalam kehidupan sosial yang kita lihat hanya ekspresi bersifat material dan kasat mata dari sebuah tindakan internal dan mendalam, yang dianggap sepenuhnya ideal, yakni berupa otoritas moral. Persoalan sosiologis ini mencari pelbagai bentuk pemaksaan yang berasal dari luar. Secara khusus terutama bertujuan untuk menemukan dalam bentuk bagaimana jenis khusus otoritas moral yang inheren dengan semua hal yang bersifat religius itu lahir dan darimana hal itu terbentuk. Bukti-bukti kepemilikan pada sirkulasi, kekakuan dan pentutoran kepercayaan kolektif, efek-efek sosial yang diinduksi lewat eksistensi sistem-sistem simbolik itu meluapi segala bagian komunikasi sosial yang pada awalnya hanya terlihat sebagai agen-agen yang pasif. Karena tidak puas dalam menghubungkan masyarakat dengan dirinya sendiri, maka agen-agen pasif ini membuktikan kohesinya dan mempertahankan identitasnya. Dengan kata lain, kontradiksi yang ada dalam sistem-sistem simbolik ini merupakan karakteristik paling esensial, karena tidak ada yang dianggap lebih dari sekedar instrumen jika berada di tangan para pelaku sosial, dan sebaliknya sistem ini merupakan kekuatan sebenarnya yang menghubungkannya. Inilah awal mula dan fungsi ini menundukkan individu-individu dan menjadikan mereka sebagai penjaga tatanan tanpa sepengetahuan mereka.
Masyarakat melalui permainan imajiner secara kolektif dan sederhana menciptakan orang-orang besar, karena tidak berguna berharap bisa memahami kekuasaan yang diakui dari diri mereka tanpa memutus bukti "keturunan" yang dimilikinya. Masyarakatlah yang menghiasi orang besar mereka dengan kesakralan dan melebihkan jarak yang memisahkan mereka dengan sesama manusia. Sehingga kharisma tidak memiliki realitas lain kecuali aspirasi-aspirasi yang digarap oleh masyarakat dan orang-orang tersebut secara sosial berada dalam posisi sebagai juru bicaranya.

Konstruksi Obyek

Yang disebut politik dalam pandangan Durkheim lebih pada hal-hal yang menyentuh totalitas kehidupan sosial atau organisasi morfologis ataupun struktural dalam masyarakat. Konsep tentang pelaku-pelaku politik tidak mengajarkan masalah lain kecuali apa yang diyakini oleh orang-orang yang memerintah, karena bagi mereka tidak ada cara lain untukmenjelaskan rancangan mereka kecuali melakukan justifikasi atasnya. Mereka yang terlibat dalam tindakan ini paling buruk kedudukannya untuk memahami penyebab-penyebab yang membuat mereka bertindak. Motif yang memberi inspirasi masa kini bukanlah motif yang secara prinsip menentukan. Formalisasi yuridis tidak bisa dicampur-adukkan dengan penjelasan politik. Sebab institusi-institusi tidak memulai eksistensinya tepat pada saat ketika undang-undang ditetapkanoleh yang mendefinisikannya. Institusi adalah kepanjangan masa lalu. Penataan ulang kehidupan sosial hanya terjemahan yang bisa dilihat. Karena seluruh masyarakat lahir dari masyarakat lain tanpa solusi bagi keberlanjutannya, sehingga kita yakin bahwa sepanjang aliran evolusi sosial tidak pernah ada satu kesempatan pun di mana individu benar-benar harus mempertimbangkan apakah mereka masuk dalam kehidupan kolektif atau tidak. Seluruh permasalahan hanya berupa cara mengetahui bagaimana masyarakat secara progresif menjadi entitas politik, yakni sesuatu yang bersentuhan dengan sebuah proses historis yang mengantar sekelompok suku bangsa ke dalam sebuah struktur polisegmenter yang kompleks.
Durkheim memandang politik sebagai bermuka dua. Di satu sisi, politik muncul dengan wajah sebuah institusi. Ia disebut negara, yang merupakan sebuah aktivitas dengan kategori warga, tokoh politik dan pegawai negeri yang berbeda-beda. Di sisi lain, aktivitas ini memiliki sifat khusus menyangkut seluruh warganegara, membidik masyarakat global yang di tengah-tengahnya tidak ada apa pun baik manusia, kelompok atau benda yang menjadi pelindung dari keputusan sentra politik ini. Itu sebabnya, politik mencakup masyarakat dengan totalitasnya. Spesifikasi politik ini cenderung menjadikan kekuasaan sebagai atribut manusia yang diinversikan dari kualitas tunggalnya, dan menjadikan otoritas sebagai sifat intrinsik individu yang dikaruniai superioritas personal. Spesifikasi juga mereduksi kekuasaan menjadi penampilan fenomena turunan, dari yang superior ke inferior dan menjadikan hubungan antara komando-ketaatan sebagai esensi dari otoritas.
Menurut Durkheim, kekuasaan dan otoritas bukan merupakan hubungan turunan yang menciptakan ketergantungan antara mereka yang disubordinasikan dengan pimpinannya. Otoritas bukan sebuah atribut atau kualitas personal orang yang lebih tinggi (superior). Hubungan otoritas menunjuk kepada hal lain selain personnya sendiri, terutama pada sejarah sosial yang dilalui dari posisi yang memberi keistimewaan kepada orang yang menempatinya. Hubungan otoritas bukan hubungan antar individu melainkan sebuah hubungan sosial. Dengan demikian, yang disebut kekuasaan penuh (maha kuasa) yang absolut sejatinya tidak ada. Suatu pemerintah disebut maha-kuasa, hanya mungkin pada individu-individu. Untuk maha-kuasa kepada situasi sosial atau organisasi masyarakat, pemerintah relatif tidak berdaya. Kekuasaan dan otoritas selalu menunjukkan hubungan interaksi. Sebab kekuasaan bukan hanya sebuah kecakapan bersifat manipulatif dan otoritas bukan pula hanya sebuah kualitas intrinsik dari individu yang bisa dipisahkan, namun suatu visi dari pelaku, yang seluruhnya dijejali keinginan rahasia untuk melakukan justifikasi diri. Kekuasaan dan otoritas lebih menunjukkan sebuah kompleks interaksi, di mana di dalamnya komando dan ketaatan mengacu satu sama lain dan secara timbal balik setiap saat, pada jaringan pertukaran di mana di dalamnya pegawai negeri atau negarawan "menarik sentimen kolektif yang dijadikan obyeknya" sebagai kekuatannya sendiri. Jika dipertimbangkan dari sudut pandang kelompok tempatnya terjadi, kekuasaan dan otoritas tidak pernah dijalani secara pasif dan tidak pula pernah diterima secara sukarela. Otoritas sepenuhnya berada di dalam pemikiran yang dimiliki manusia. Otoritas berurusan dengan opini. Opini sendiri adalah benda kolektif. Opini adalah sentimen kelompok. Karena itu, jika meneliti kekuasaan dan otoritas jangan pernah mengabaikan elemen primordial dalam kepercayaan atau opini. Jangan pernah memperlakukan sebuah fenomena kekuasaan tanpa menghubungkannya dengan sejarah masyarakat yang terkait dengannya.

Arsitektur Bangunan Teoretis

Sebuah masyarakat terbentuk melalui kelompok-kelompok sekunder dengan sifat yang berbeda-beda, tanpa menjadi kelompok sekunder jika dikaitkan dengan masyarakat yang lebih luas, dan ia membentuk sebuah entitas sosial dengan jenis yang berbeda. Masyarakat terbentuk oleh bertemunya sejumlah kelompok sosial sekunder yang jumlahnya kurang lebih banyak, dan tunduk pada satu otoritas yang sama, namun tidak masuk lagi dalam otoritas superior lain yang terorganisasi secara teratur. Oleh karena kita harus membedakan masyarakat dan salah satu organnya, maka kita sebut negara sebagai agen-agen otoritas pemerintah, dan masyarakat politik adalah kelompok yang kompleks di mana negara menjadi organ utama.
Fenomena politik bisa jadi difahami sebagai sosialisme. Tapi sosialisme tidak perlu dipikirkan dengan karakternya yang abstrak, di luar konteks ruang dan waktu, sebaliknya harus dikaitkan dengan milieu-milieu sosial tempatnya lahir. Sosialisme harus dilihat sepenuhnya berorientasi kepada masa depan, karena bagaimana pun sosialisme merupakan sebuah rencana rekonstruksi masyarakat aktual, sebuah program kehidupan kolektif yang belum eksis atau yang eksis namun tidak seperti yang diimpikan, dan ini diajukan kepada manusia sebagai hal yang patut menjadi pilihan. Sosialisme politik sebagian terkait dengan tatanan representasi kolektif. Konstruksi politik yang diajukan dalam ulasan tentang sosialisme secara retrospektif tampaknya terbatas, namun pertemuannya dengan politik secara lateral adalah saat munculnya kepercayaan baru. Kepercayaan-kepercayaan itu diusung dalam organisasi masyarakat untuk dijadikan politis. Sebaliknya politik tidak tereduksi menjadi kepercayaan yang terkait organisasi sosial yang ditemukan masyarakat sepanjang sejarah mereka. Politik mencakup negara beserta pegawai negerinya, bentuk-bentuk pemerintahan, monarki, aristokrasi atau demokrasi, berbagai kelompok dan kumpulan yang ikut memberi kontribusi terhadap fungsinya atau sebaliknya yang bertentangan dengan penerapan atributnya.
Memikir negara memiliki pengertian pertukaran antara dua lingkup yang berbeda, yaitu negara dan masyarakat. Kehidupan mental organ pemerintahan terorganisasi dan tersentralisasi. Kehidupan psikis negara ditandai dengan kejelasan, "sadar" dan menjadi penguasa terhadap dirinya sendiri. Sedang kehidupan psikis masyarakat bersifat ganda.di setiap unit sosial ada mitos-mitos, dogma dan kepercayaan-kepercayaan yang tersebar dan diwariskan, juga tradisi-tradisi historis dan moral yang membentuk representasi bersama ke seluruh anggota kesatuan sosial, aliran-aliran sosial yang lahir, tersebar dan lenyap, yang segera diganti oleh yang lain. Semua ini bersirkulasi di antara individu-individu yang membentuk kelompok politik, di antara milieu-milieu yang membentuknya, dan di antara organ-organ yang membangunnya. Durkheim mendesakkan pendapat bahwa semua representasi kolektif tanpa kecuali (berupa mitos, dogma-dogma dan kepercayaan) sebagian terkait dengan politik - melalui mekanisme pertukaran - meski semuanya seolah-olah masih merasa tidak mampu menentukan bagaimana bentuknya. Representasi-representasi politik yang terbatas tidak memberi karakter apa pun yang sesuai dengannya. Representasi memiliki pertalian dengan politik.

Lingkaran Kekuasaan atau Politik (Macro Objective)

Dari pelbagai kontak kesadaran lahirlah representasi-representasi baru yang menahan indvidu-individu di bawah kekuasaannya. Representasi itu menjadi kekuatan-kekuatan yang mampu untuk menggerakkan, menyeretnya, melepaskan rantai nafsu bahkan mencabut nafsu itu dari dirinya sendiri. Hanya dengan memperhitungkan kekuasaan yang sesuai dengan representasi kolektif saja yang memungkinkan kita untuk menjelaskan fenomena ganda kejahatan dan hukumannya; yang ini tidaklain adalah tindakan "yang menghina situasi-situasi kesadaran kolektif yang keras dan terbatas". Kesadaran kolektif ini "ada dalam reaksi yang timbul karena nafsu, dengan intensitas yang bertingkat-tingkat, dan dialami masyarakat melalui perantaraan sebuah kesatuan yang terdiri dari mereka di antara para anggotanya yang telah melanggar aturan-aturan perilaku tertentu. Pada dasarnya masyarakat mengomunikasikan situasi-situasi jiwanya dengan (permainan politik) dan membuat kodifikasi, karena mereka dapat menerjemahkan situasi kebiasaan dengan situasi hukum, ini dianggapsebagai tafsiran tentang masyarakat. Karena tidak puas dengan kodifikasi hukum, (peran ini) bertindak sebagai penghukum, pemenjara dan pengeksekusi mati. Dengan demikian, negara bertanggungjawab melalui dua fungsinya, yang dalam tipe sosial superior diberi karakter melalui kewajiban dan eksistensi organ-organ yang ditujukan khusus untuk melanjutkan eksistensi organ tersebut, yakni sebagai instrumen represi sosial.
Kekuasaan milik negara harus difahami sebagai hasil dari sebuah proses historis rangkap tiga serta proses sosial organisasi, delegasi dan otomatisasi. Selama masing-masing segmen sosialnya memiliki kehidupan sendiri yang intens, mereka akan mempunyai organ-organ pengatur yang sedikit berbeda dari yang lain dalam masyarakat global. Kebutuhan akan sebuah organ sentral pun menguat. Ketika masyarakat politik sampai pada derajat kompleksitas tertentu, mereka tidak bisa lagi bertindak secara kolektif kecuali melalui intervensi negara. Perkembangan yang kurang lebih menonjol dari organ regulator sentral ini hanya menyebabkan direfleksikannya perkembangan kehidupan kolektif secara umum. Lahirnya negara diiringi munculnya kekuasaannya sendiri, di mana fungsinya mengharuskan "dihormatinya kepercayaan-kepercayaan, tradisi dan praktik-praktik kolektif, yang maksudnya membela kesadaran umum dari semua musuh baik yang berasal dari dalam maupun dari luar", maka ia meminjam kekuatannya sebagai energi yang dihabiskan masyarakat untuk mengurung anggota-anggotanya. Karena mengekspresikan hal itu dan menjadikannya simbol seumur hidup, negara memiliki atribut-atribut kekuasaan, meski secara simultan kekuasaan ini tidak berarti apa-apa, karena pada prinsipnya kekuasaan itu hanya sebuah derivasi dari kekuasaan yang imanen atas kesadaran umum (bersama).
Politik didefinisikan melalui elaborasi yang dijadikan obyek. Ia bukanlah sebuah kesatuan dari genre yang sama dengan moral, ekonomi atau religius. Ia mengintegrasikan kontribusi mereka untuk mempertahankan kohesi sosial, namun tetap berbeda karena secara eksklusif didefinisikan dengan mempertahankan hal ini. Dalam upaya menjadi sesuatu yang tersendiri, politik merupakan kondisi yang diperlukan bagi eksistensi sebuah peraturan moral, peraturan ekonomi atau peraturan religius di dalam sebuah masyarakat terkait. Ia adalah sebuah fungsi eksistensi peraturan, yang independen dalam kandungan konkret dan menjadi pembentuk dalam kontribusinya terhadap integrasi kesatuan sosial. Politik adalah cara berfungsinya peraturan, sejauh peraturan ini cenderung memuat kecenderungan-kecenderungan entropik segenap masyarakat.